Konflik kepemilikan tanah sering kali menjadi topik yang memanas di masyarakat. Salah satu contohnya adalah perselisihan antara warga RT 08 RW 02 Kelurahan Tambak Wedi Kecamatan Kenjeran dengan pemerintah daerah. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diadakan oleh Komisi A DPRD Surabaya, perwakilan warga mengungkapkan keresahan mereka terkait hak atas tanah yang mereka miliki.
Dalam pertemuan tersebut, salah satu perwakilan warga, Udin, menyatakan keresahan banyak warga yang telah memperoleh sertifikat tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) tahun 2019. Namun, mereka mendapati tanah yang telah bersertifikat tersebut tiba-tiba terdaftar sebagai aset milik pemerintah. Pernyataan ini memunculkan berbagai pertanyaan, terutama mengenai dasar hukum klaim yang dilakukan oleh pemerintah sebesar itu.
Kepemilikan Sertifikat Tanah yang Dipertanyakan
Melihat pernyataan Udin yang menyentuh aspek emosional banyak warga, kita bisa menganalisis ketidakpastian yang muncul ketika tanah sah milik mereka tiba-tiba dianggap aset pemerintah. 75% warga telah mengantongi sertifikat resmi, sementara sisanya memiliki dokumen petok D. Ketidakjelasan ini mengarah pada kebingungan yang lebih besar, terutama ketika warga merasa dipermainkan oleh perubahan status tanah secara sepihak.
Hal ini memunculkan reaksi keras dari anggota DPRD, Saifudin, yang menegaskan bahwa masalah ini bukan antara warga dan pemerintah, melainkan antara dua institusi pemerintah: Pemkot dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN seharusnya menjadi bukti kepemilikan yang kuat, namun ketika pemerintah kota mengklaim aset tersebut, krisis kepercayaan muncul. Dari sini, kita bisa melihat betapa rumitnya masalah legislatif dan administratif terkait tanah di Indonesia.
Pola Pemikiran tentang Aset dan Kebijakan Tanah
Pemerintah kota berpendapat bahwa mereka berpegang pada data yang ada dalam Sistem Informasi Barang Daerah (SIMBADA) yang mencatat tanah tersebut sebagai aset hasil tukar-menukar dengan pihak swasta. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum jika masyarakat sudah memiliki bukti kepemilikan yang sah dari BPN?
Apa yang terjadi di lapangan adalah bahwa sekitar 322 bidang tanah telah mendapatkan Sertifikat Hak Milik. Meskipun pemerintah berjuang untuk melindungi aset daerah, mereka juga harus mengakui eksistensi hak warga yang telah mendapatkan sertifikat. Mengamankan aset adalah tugas pemerintah, namun harus dilakukan dengan cara yang tidak merugikan hak dasar warganya.
Berdasarkan analisis data dan pengalaman, bisa disimpulkan bahwa inkonsistensi dalam pengelolaan data tanah perlu segera dibenahi. Warga meminta kejelasan mengenai status tanah yang mereka miliki, dan priori utamanya adalah menemukan titik temu untuk menghindari penambahan ketegangan. Ketua Komisi A, Yona Bagus Widiatmoko, mencatat bahwa informasi yang tidak akurat di lapangan sangat menganggu proses pencarian solusi, dan ini harus segera diatasi.
Jalan ke depan menghadapi kebuntuan ini memerlukan dialog terbuka dan transparansi dari seluruh pihak yang terlibat. RDP tidak menemukan kesepakatan, dan rencananya akan diadakan kembali untuk mencari kejelasan yang lebih tepat. Dalam konteks ini, penting agar semua pihak menyadari bahwa bagi warga, kepemilikan tanah adalah hak yang harus dihargai.