Dalam sebuah rapat penting, Komisi C DPRD Surabaya mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk membahas sengketa lahan yang berkaitan dengan kepentingan warga dan perusahaan. Pertemuan ini diadakan pada tanggal 12 Agustus 2025 di kawasan Pradah Kali Kendal, Surabaya Barat. Topik panas ini menggugah perhatian karena berhubungan langsung dengan hak atas tanah dan keadilan sosial.
Sengketa ini melibatkan lahan seluas 57,5 hektare yang diklaim oleh perusahaan, tetapi saat ini masih dikuasai secara fisik oleh warga Tubanan. Di tengah proses hukum yang kompleks ini, pertanyaan utama pun muncul: bagaimana keadilan dapat ditegakkan dalam situasi yang melibatkan banyak kepentingan tersebut?
Persoalan Lahan dan Hak Warga
Komisi DPRD yang dipimpin oleh Eri Irawan mendengarkan berbagai pendapat dari berbagai pihak yang terlibat. Perwakilan warga bersama kuasa hukumnya, Prof. Dr. Tjandra Sridjaya, menegaskan bahwa isu yang sedang diperdebatkan lebih dari sekadar dokumen sertifikat tanah. Ini adalah tentang keadilan bagi rakyat kecil yang berjuang di tengah dominasi perusahaan besar. Dengan lahan yang terus menjadi objek sengketa, suara rakyat kecil sering kali terabaikan.
Statistik menunjukkan bahwa 57% masyarakat di area tersebut merasa tidak puas dengan cara pemerintah menangani masalah ini. Hal ini menggarisbawahi pentingnya dialog yang konstruktif antara pihak-pihak yang terlibat. Apakah tidak seharusnya ada jalan tengah yang dapat dicapai? Seperti disampaikan oleh Prof. Tjandra, jika ada masalah, sudah seharusnya dibicarakan secara baik-baik tanpa menggunakan kekuatan.
Perspektif Perusahaan dalam Sengketa
Pihak perusahaan pun tidak kurang mendukung argumennya. Mereka mengklaim bahwa lahan Tubanan adalah bagian dari total 300 hektare yang telah dikelola sejak perjanjian tahun 1995. Juru bicara perusahaan menyatakan bahwa mereka berkomitmen untuk memenuhi semua kewajiban yang diperlukan, tetapi terkendala oleh protes dari warga yang masih menempati lahan tersebut. Ini menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab perusahaan untuk memindahkan warga secara etis.
Anggota Komisi C, Buchori Imron, menunjukkan bahwa penyelesaian masalah ini memerlukan kerja sama dari semua pihak. dalam mengatakan, “Keberhasilan dalam menyelesaikan sengketa tanah ini sangat dipengaruhi oleh niat baik dan kepatuhan terhadap undang-undang yang berlaku.” Jika semua pihak terbuka dan bersedia untuk bernegosiasi, jalan keluar mungkin terlihat lebih jelas.
Penutupan rapat oleh Eri Irawan memberi tenggat waktu 20 hari bagi pihak perusahaan untuk menyelesaikan isu internal mereka dan berkoordinasi dengan pemerintah. Dalam periode ini, harapannya adalah semua pihak dapat menemukan solusi yang memuaskan semua pihak. Dengan melibatkan pakar hukum dan pihak-pihak terkait lainnya, diharapkan keadilan dapat ditegakkan dengan lebih baik.
Krisis sengketa lahan di Tubanan ini bukan hanya sekadar masalah administrasi, melainkan sebuah ujian moral tentang bagaimana hukum dan kekuasaan dapat dijalankan secara adil. Rapat ini menjadi titik tolak bagi pergeseran status quo yang ada, dan menjanjikan harapan akan keadilan bagi rakyat yang mungkin telah lama terpinggirkan dalam perjalanan sejarah mereka.