SURABAYA – Komisi B DPRD Surabaya telah menggelar rapat koordinasi untuk membahas penertiban pasar liar di kawasan Tanjungsari, Surabaya Barat, pada hari Senin, 11 Agustus 2025. Rapat ini dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi B, Mochammad Machmud, dan dihadiri oleh berbagai pihak terkait, termasuk Dinas Koperasi Usaha Mikro dan Perdagangan, Bagian Perekonomian dan SDA, serta Camat Sukomanunggal dan Camat Bubutan.
Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro dan Perdagangan Surabaya, Febrina Kusumawati, mengungkapkan bahwa hasil tinjauan lapangan bersama Komisi B menunjukkan sejumlah ketidaksesuaian antara izin dan kondisi nyata di lapangan.
Temuan Penting dalam Penertiban Pasar
Febrina menjelaskan, “Kami menemukan empat masalah utama di lapangan—di antaranya luas area yang tidak sesuai, perizinan yang berbeda, hingga jam operasional yang tidak sesuai.” Ia menambahkan bahwa jika ketentuan mengharuskan satu hal, tetapi situasi di lapangan menunjukkan sebaliknya, maka tindakan tegas harus diambil.
Penting untuk memahami bahwa penertiban bukan sekadar soal kompleksitas, melainkan melaksanakan ketentuan hukum yang memang sudah disepakati dalam peraturan daerah dan peraturan wali kota. Ia juga menyoroti bahwa beberapa pasar liar yang ada kini telah beroperasi selama bertahun-tahun, sehingga pemerintah kota memiliki kewenangan untuk memindahkan atau menertibkan tempat tersebut sesuai hukum yang berlaku.
Tantangan dalam Pelaksanaan Penertiban
Pada saat yang sama, Mochammad Machmud menyoroti adanya kelemahan dalam pengawasan di tingkat kelurahan dan kecamatan. Ia mencatat bahwa banyak lurah dan camat yang abai terhadap pelanggaran yang terjadi di wilayah mereka. “Mereka sudah mengetahui ada pedagang di badan jalan, tetapi dibiarkan hingga jumlahnya menjadi puluhan atau bahkan ratusan,” ujarnya.
Machmud mengingatkan bahwa di masing-masing kecamatan terdapat Satgas Penertiban yang seharusnya aktif melakukan pengawasan. Ia memberikan contoh kawasan Kaliana yang kini sedang dibongkar setelah bertahun-tahun dibiarkan. Ia juga mengungkapkan kasus di kawasan Koblen yang sebelumnya mendapatkan izin khusus karena statusnya sebagai cagar budaya, tetapi pembangunan yang diwajibkan tidak kunjung dilaksanakan.
“Ini menunjukkan bahwa izin tersebut sudah mati sejak 2022. Dengan kata lain, jika ingin melanjutkan proyek, itu tidak diperbolehkan lagi,” tegasnya. Hingga rapat berlangsung, sejumlah lokasi pasar liar dan bangunan yang bermasalah di Tanjungsari masih belum menerima Surat Peringatan pertama atau kedua. Komisi B meminta dinas terkait untuk cepat mengambil tindakan, mengingat kasus ini telah berulang kali dibahas sebelumnya.
Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah daerah untuk tidak hanya mengeluarkan surat peringatan, tetapi juga untuk menindaklanjuti dengan aksi tegas. Dalam hal ini, komunikasi dan kolaborasi antara berbagai pihak sangat diperlukan untuk menciptakan keselarasan dan efektivitas dalam penegakan hukum.
Pengawasan yang ketat di tingkat kecamatan dan kelurahan, serta kesadaran dari masyarakat harus diperkuat agar pelanggaran seperti ini dapat diatasi dengan lebih baik. Dengan langkah-langkah strategis yang tepat, diharapkan penertiban pasar liar di Surabaya dapat berjalan lancar dan sesuai hukum, menguntungkan semua pihak yang terlibat.