Dalam konteks perlindungan anak, Pemerintah Kota Surabaya telah menerapkan kebijakan jam malam untuk anak-anak di bawah usia 18 tahun selama masa liburan sekolah. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi risiko keterlibatan anak-anak dalam aktivitas negatif dengan membatasi waktu berkeliaran mereka di luar rumah.
Kebijakan ini diaktifkan mulai pukul 22.00 hingga 04.00 WIB dan diingatkan dengan pendekatan yang persuasif dan edukatif. Ini memunculkan pertanyaan penting: sejauh mana kebijakan ini efektif dalam melindungi anak-anak dari pengaruh buruk di lingkungan sekitar?
Prioritas Perlindungan Anak di Surabaya
Penerapan jam malam di Surabaya bukan hanya sekadar aturan, namun merupakan langkah konkret yang mencerminkan kepedulian Pemkot terhadap perlindungan anak. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana menjelaskan bahwa pembatasan ini bertujuan agar anak-anak tidak terjebak dalam perilaku menyimpang yang merugikan, seperti minuman keras atau tawuran. Menghindari aktivitas negatif menjadi esensi dari kebijakan ini.
Data yang dihasilkan oleh DP3APKB menunjukkan bahwa anak-anak yang berkeliaran setelah jam malam berisiko tinggi terlibat dalam perilaku menyimpang. Keterlibatan dalam perilaku seperti tawuran atau penggunaan narkoba telah menambah urgensi kebijakan ini. Dengan demikian, pemberian edukasi kepada orang tua dan pendampingan terhadap anak-anak yang melanggar jam malam menjadi sangat penting.
Strategi Melawan Perilaku Negatif Anak
Selain menerapkan jam malam, strategi lain juga diterapkan, seperti pendampingan kepada anak-anak yang melanggar aturan. Kasus-kasus anak yang terlibat dalam perilaku negatif seringkali berasal dari latar belakang keluarga yang kurang utuh atau mendapat perhatian yang minim dari orang tua. Pendekatan ini menuntut keterlibatan keluarga dalam mendukung perubahan perilaku anak.
Pemerintah juga menyediakan program edukasi bagi anak-anak yang terlibat dalam pelanggaran, baik itu konsumsi miras atau tawuran. Program rehabilitasi ini berlangsung satu minggu dan melibatkan berbagai pihak, seperti psikolog dan kepolisian, untuk memberikan pemahaman yang lebih baik kepada anak. Dengan melibatkan orang tua dalam proses ini, diharapkan terjadi perubahan perilaku yang lebih mendalam.
Pada akhirnya, kesabaran dari orang tua serta dukungan yang konsisten sangat dibutuhkan dalam proses ini. Kasus anak yang mengalami gangguan kognitif akibat ketergantungan pada zat adiktif, misalnya, menekankan pentingnya perhatian dan kehadiran orang tua dalam kehidupan anak. Oleh karena itu, keterlibatan semua pihak, baik pemerintah, keluarga, maupun masyarakat, merupakan kunci sukses dalam melindungi anak dari bahaya sosial yang mengancam mereka.